MAKALAH AL-ISLAM KEMUHAMMADIYAHAN
“Muhammadiyah
Sebagai Gerakan Islam yang berwatak Tajdid”

Di Susun oleh :
1. Fatimah Nuurunnisa’ F120155036
2. Sa’diah Ayu Wihardini F120155048
STIKES
MUHAMMADIYAH KUDUS
PRODI
FARMASI
TAHUN
2015-2016
Puji
syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Muhammadiyah Sebagai
Gerakan Islam yang Berwatak Tajdid yang dibimbing oleh bapak Abdul Rozaq
M.Ag
Makalah
yang ditulis penulis ini berbicara mengenai Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam
yang Berwatak Tajdid, Penulis menuliskannya dengan mengambil dari beberapa sumber
buku dan internet dan membuat gagasan dari beberapa sumber yang ada tersebut.
Penulis
berterima kasih kepada beberapa pihak yang telah membantu penulis dalam
penyelesaian makalah ini. Hingga tersusun makalah yang sampai dihadapan pembaca
pada saat ini.
Penulis
juga menyadari bahwa makalah yang penulis tulis ini masih banyak kekurangan. Karena
itu sangat diharapkan bagi pembaca untuk menyampaikan saran atau kritik yang
membangun demi tercapainya makalah yang lebih baik.
Kudus,
November 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar……………………………………………………………………1
Daftar
Isi………………………………………………………………………….2
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang…………………………………………………………….. 3
B. Rumusan
Masalah……………………………………………………….... 3
C. Tujuan……………………………………………………………………... 4
D. Manfaat…………………………………………………………………….. 4
BAB
II ISI
A. Pengertian
tajdid dan tajrid.......................................................................... 5
B. Model
tajrid dan tajdid Muhammadiyah...................................................... 7
C. Model
gerakan keagamaan Muhammadiyah................................................ 9
D. Makna
gerakan keagamaan Muhammadiyah............................................... 12
E. Gerakan
tajdid pada 100 tahun kedua......................................................... 13
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………………. 17
B. Saran…………………………………………………………………….... 17
Daftar
Pustaka…………………………………………………………………… 18
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Modernitas
muhammadiyah lahir sebagai respon atas sejarah, bukan spontanitas. Ketika
rakyat tenggelam dalam kemiskinan dan kebodohan semasa rezim kolonial,
muhammadiyah lahir dengan banyak respon; pendidikan modern dan mengembangkan
spirit PKO ( Pertolongan Kesengsaraan Oemoem) ketika massyarakat teklena dalam
tradisional dan pencampuradukan ajaran agama, muhammadiyah memberikan wacana
dan spirit baru, tajdid dan purifikasi.
Muhammadiyah
sebagai gerakan islam merumuskan gerakan pembaharuannya dalam bentuk purifikasi
dan dinamisasi. Purifikasi didasarkan pada sumsi bahwa kemunduran umat islam
terjadi karena umat islam tidak mengembangkan aqidah islam yang benar, sehingga
harus dilakukan purifikasi dalam bidang aqidah-ibadah dengan teori “ segala
sesuatu dalam ibadah madlah dilaksanakan bila ada perintah dalam Al-Qur’an dan
Hadist” sedangkan dinamisasi dilakukan dalam bidang muamalah, dengan melakukan
gerakan modernisasi sesuai dengan teori “ segala sesuatu boleh dikerjakan
selama tak ada larangan dala Al-qur’an dan Hadist”.
Muhammadiyah
dalam gerakan pembaharuannya di lakukan bersamaan antara gerakan purifikasi
dengan gerakan muamalah. Purifikasi dalam bidang aqidah yang dilakukan oleh
muhammadiyah adalah aqidah yang memiliki keterkaitan dengan aspek sosial
kemasyarakatan.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
Pengertian tajdid ?
2. Bagaimana
Model tajdid Muhammadiyah
3. Bagaimana
Model gerakan keagamaan Muhammadiyah
4. Apa
Makna gerakan keagamaan Muhammadiyah
5. Apa
Gerakan tajdid pada 100 tahun kedua
C. Tujuan
Tujuan
dari makalah ini adalah
a. Mampu
menjelaskan pengertian tajdid
b. Mampu
menjelaskan model tajdid Muhammadiyah
c. Mampu
memahami model dan makna gerakan keagamaan Muhammadiyah
d. Mampu
menjelaskan gerakan tajdid pada 100 tahun kedua
D. Manfaat
Adapun
yang manfaat dari makalah ini yaitu memberikan penjelasan kepada mahasiswa
mengenai tajdid, model tajdid
Muhammadiyah, model dan makna gerakan keagamaan Muhammadiyah, Mampu menjelaskan
gerakan tajdid pada 100 tahun kedua
BAB
II
ISI
A. Pengertian
Tajdid
1. Pengertian
Tajdid
Istilah
tajdid berasal dari bahasa Arab yaitu jaddada, yang berarti memperbaharui atau
menjadikan baru. Dalam kamus Bahasa Indonesia tajdid berarti pembaruan, modernisasi
atau restorasi.
Secara
bahasa (etimologi) tajdid memiliki makna pembaharuan dan pelakunya disebut
mujaddid (pembaharu). Sedangkan dalam pengertian istilah (terminology), tajdid
berarti pembaharuan terhadap kehidupan keagamaan, baik dalam bentuk pemikiran
ataupun gerakan, sebagai respon atau reaksi atas tantangan baik internal maupun
eksternal yang menyangkut keyakinan dan sosial umat (Ibnu Salim dkk: 1998:1).
Dalam
pengertian lain, tajdid adalah upaya untuk memperbaharui
interpretasi-interpretasi atau pendapat-pendapat ulama terdahulu terhadap
ajaran-ajaran dasar Islam, atas dasar bahwa ajaran tersebut sedah tidak relevan
dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Oleh karena itu, tajdid adalah usaha
yang kontinyu dan dinamis, sebab selalu berhadapan dan beinteraksi dengan
historisitas kehidupan manusia.
Dalam
konteks Muhammadiyah, tajdid bertujuan untuk menghidupkan kembali ajaran
al-Qur'an dan Sunnah dan memerintahkan kaum muslimin untuk kembali kepadanya.
Adapun yang masih merupakan rumpun tajdid dalam perspektif Muhammadiyah adalah
seperti diurakan oleh beberapa tokoh Muhammadiyah sebagai berikut: Pertama,
K.H. Azhar basyir menyebutkan bahwa Muhammadiyah bertujuan memurnikan ajaran
al-Qur'an dan Sunnah dari praktek-praktek takhayul, bid’ah dan khurafat yang
dianggap syirik.
Dengan
kata lain, Muhammadiyah berkepentingan mengusung Islam murni (Lihat Azhar
Basyir: 1993: 255-257). Kedua Syafi’i Ma’arif menyebutkan bahwa Muhammadiyah
mentahbihkan dirinya sebagai gerakan non-mazhab, dinamisasi di tengah-tengah
arus utama umat Islam yang terkungkung dalam belenggu mazhab (Syafi’i Ma’arif
1997: 133). Dan Ketiga, K. H. Suja inti dari pendirian Muhammadiyah sebagai
jawaban terhadap surat al-Maun yang dikaitkan dengan pembebasan kaum tertindas.
(Q.S. Al-Anfal: 24) (Sukrianto AR 1990: 43)
Apa
yang dimaksud dengan tajdîd dalam Muhammadiyah dan bagaimana perkembangannya
selama satu abad pertama? Kedua persoalan ini perlu dianalisis berdasarkan
periodesasi dan kurun waktu yang telah ada. Secara garis besar, perkembangan
tajdid dalam Muhammadiyah dapat dibedakan menjadi tiga pase, yakni pase
aksi-reaksi, konsepsionalisasi dan pase rekonstruksi. Ketika Muhammadiyah
didirikan, para tokoh Muhammadiyah, termasuk K.H. Ahmad Dahlan, belum
memikirkan landasan konseosional dan teoritis tentang apa yang akan
dilakukannya. Yang terjadi adalah, upaya mereka untuk secara praktis dan
pragmatis menyebarkan ajaran Islam yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan
Rasulullah. Konsentrasi mereka difokuskan pada bagaimana praktek keagamaan yang
dilakukan masyarakat waktu itu disesuaikan dengan apa yang dilakukan oleh
Rasulullah di satu sisi, tapi juga memperhatikan tradisi agama lain, khususnya
kristen, yang kebetulan disebarkan oleh penjajah negeri iniAdapun rumusan
tajdîd yang resmi dari Muhammadiyah itu adalah sebagai berikut:
Dari
segi bahasa, tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah, tajdîd memiliki
dua arti, yakni: a. pemurnian; b. peningkatan, pengembangan,
modernisasi dan yang semakna dengannya.
Dalam
arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam
yang berdasarkan dan bersumber kepada al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shohihah.
Dalam arti “peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya”,
tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam
dengan tetap berpegang teguh kepada al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah.
Untuk
melaksanakan tajdid dalam kedua pengertian istilah tersebut, diperlukan
aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih,
yang dijiwai oleh ajaran Islam. Menurut Persyarikatan Muhammadiyah, tajdid
merupakan salah satu watak dari ajaran Islam.
Yang
diperbaharui adalah hasil pemikiran atau pendapat, dan bukan memperbarui atau
mengubah apa yang terdapat dalam al-Qur”an maupun al-Hadis. Dengan kata lain,
yang diubah atau diperbarui adalah hasil pemahaman terhadap al-Qur’an dan
al-Hadis tersebut.
B. Model
Tajdid muhammadiyyah
1. Model
tajdid muhammadiyah
Pertama;
kongkrit dan produktif, yaitu melalui amal usaha yang didirikan, hasilnya
kongkrit dapat dirasakan dan dimanfaatkan oleh umat Islam, bangsa
Indonesia dan umat manusia di seluruh dunia. Suburnya amal saleh di lingkungan
aktivis Muhammadiyah ditujukan kepada komunitas Muhammadiyah, bangsa dan kepada
seluruh umat manusia di dunia dalam rangka rahmatan lil alamin.
Kedua;
tajdid Muhammadiyah bersifat terbuka. Maksud dari keterbukaan tersebut,
Muhammadiyah mampu mengantisipasi perubahan dan kemajuan di sekitar kita. Dari
sekian amal usahanya, rumah sakitnya misalnya, dapat dimasuki dan dimanfaatkan
oleh siapapun. Sekolah sampai kampusnya boleh dimasuki dan dimanfaatkan oleh
siapa saja. Kalau Muhammadiyah mendirikan lembaga ekonomi dan usaha atau jasa,
maka yang menjadi nasabah, partner dan komsumennya pun bisa siapa saja yang
membutuhkan.
Ketiga;
tajdid Muhammadiyah sangat fungsional dan selaras dengan cita-cita Muhammadiyah
untuk menjadikan Islam itu, sebagai agama yang berkemajuan, juga Islam yang
berkebajikan yang senantiasa hadir sebagai pemecah masalah-masalah (problem
solv), temasuk masalah kesehatan,pendidikan, dan masalah sosial ekonomi.
Dengan
Demikian model Tajdid dibagi dalam tiga bidang, yaitu :
1) Bidang
keagamaan
Pembaharuan
dalam bidang keagamaan adalah penemuan kembali ajaran atau prinsip dasar yang
berlaku abadi, yang karena waktu lingkungan situasi dan kondisi mungkin
menyebabkan dasar-dasar tersebut kurang jelas dan tertutup oleh kebiasan dan
pemikiran tambahan lain.
Pembaharuan
dalam bidang kaagamaan adalah memurnikan kembali atau mengembalikan kepada
aslinya, oleh karena itu dalam pelaksanaan agama baik yang menyangkut akidah
atau pun ibadah harus sesuai dengan aslinya, yang sebagai mana diperintahkan
dalam Al-Qur’an dan as sunah.
Dalam
masalah akidah muhammadiyah bekerja untuk tegaknya akidah islam yang murni,
bersih dari gejala kemusyrikan, bid’ah dan curafat tanpa mengabaikan prinsip
toleransi menurut islam. Sedangkan dalam ibadah, muhammadiyah bekerja untuk
tegaknya ibadah tersebut sebagaimana yang dituntunkan Rasulluah tanpa perubahan
dan tambahan dari manusia. Usaha permurnian yang dilakukan muhamaadiyah
terhadap keadaan keagamaan yang tampak dari serapan berbagai unsur kebudayaan
yang ada di indonesia yaitu Penentuan arah kiblat dalam sholat, yang sebelumnya
mengarah tepat ke arah barat.
2. Bidang
pendidikan
Dalam
bidang ini Muhammadiyah mempelopori dan meyelenggarakan sejumlah pembaharuan
dan inovasi yang lebih nyata. Bagi Muhammdiyah pendidikan memiliki arti yang
penting dalam penyebaran ajaran islam, karena melalui bidang pendidikan
pemahaman tentang islam dapat diwariskan dan ditanamkan dari generasi
kegenerasi.
Pembaharuan
dari segi pendidikan memiliki dua segi yaitu
a. Segi
cita-cita
Dari
segi ini ingin membentuk manusia muslim yang baik budi, alim dalam agama, luas dalam
pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, dan bersidia berjuang untuk
kemajuan masyarakatnya.
b. Segi
teknik pengajaran
Dari
segi ini lebih banyak berhubungan dengan cara penyelenggaraan pengajaran.
Dengan mengambil unsur-unsur yang baik dari sistem pendidikan barat dan sistem
pendidikan tradisonal, muhammadiyah berhasil membangun sistem pendidikan
sendiri. Seperti sekolah model barat yang dimasukkan pelajaran agama
didalamnya, sekolah agama dengan menyertakan perlajaran umum.
Selain
pembaharuan dalam pendidikan formal, Muhammadiyah juga telah mempebaharui
pendidika tradisional non formal yaitu pengajian. Dimana yang semula
pengajarnya hanya mengajar ngaji dan ibadah oleh muhammadiyah diperluas dan
pengajian di sistematiskan dan diarahkan pada masalah kehidupan sehari-hari.
Begitupula
muhammadiyah telah mewujudkan bidang bimbingaan dan penyuluhan agama dalam
masalah-masalah yang diperlukan dan mungkin bersifat pribadi.
3. Bidang
sosial masyarakat
Muhammadiyah
merintis bidang sosial kemasyarakatan dengan mendirikan rumah sakit, piklinik,
panti auhan, rumah singgah, panti jompo, Pusat kegiatan Belajar Masyarakat
(PKBM), posyandu lansia yang dikelola melalui amal usahanya dan bukan secara
individual sebagai mana dilakukan orang pada umumnya. Usaha pembaharuan dalam
bidang sosial kemasyarakatan ditandai dengan didirikannya Pertolongan
Kesengsaraan Oemoen (PKO)di tahun 1923. Perhatian terhadap kesengsaraan orang
lain merupakan kewajiban orang muslim, sebagai perwujudan tuntunan agama yang
jelas untuk ber amal ma’ruf dan juga sebagai bentuk pengamalan firman Allah
dalam surat Al-ma;un 107: 1-7
Yang
artinya
“
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama, itulah orang yang menghardik anak
yatim dan tidak menganjurkan memberi makanan orang miskin. Maka kecelakaanlah
bagi orang-orang yang shalat,(yaitu) orang yang lalai dari sholatnya,
orang-orang berbuat riya dan enggan(menolong dengan) barang berguna.”.
C. Model
gerakan keagamaan Muhammadiyah
Seperti
yang dituliskan di awal bahwa dalam konstitusi Muhammadiyah, terdapat tiga
model gerakan yang mewujud menjadi modal gerakan yaitu:
Pertama:
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.
Kedua: sebagai
gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, dan
Ketiga:
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.
Pada
dasarnya, Muhamadiyah telah menggagas mengenai penguatan basis gerakan, sejak
awal berdirinya. Bahkan dalam Muktamar pada tahun 1970-an telah diputuskan
untuk menggalang jama’ah dan dakwah jamaah (GJDJ). Hanya saja, gagasan tersebut
belum ter-implementasi secara maksimal dalam aktivistas gerakan organisasi.
Kesadaran
yang sama muncul pada Muktamar ke 46 Yogyakarta dengan adanya program
revitalisasi cabang dan ranting serta pembentukan Lembaga Pengembangan Cabang
dan Ranting (LPCR), sebagai respons atas kondisi global dan tantangan yang
dihadapi.
Kesadaran
untuk memperhatikan masyarakat di akar rumput merupakan kelanjutan dari spirit
perubahan formasi sosial dengan terlibat dalam penguatan kesadaran sosial,
politik, ekonomi dan ideologi, -kini terkooptasi oleh kecenderungan
kapitalistik, birokrasi, politisasi yang berlangsung secara massif pasca Orde
Baru. Dan terakhir, beberapa dekade yang lalu, telah di rumuskan pembinaan
Jamaah, keluarga sakinah, dan qaryah thoyyibah untuk memperkuat basis gerakan.
1. Gerakan
Jamaah dan Dakwah (GDJD)
Esensi
GDJD adalah penguatan kesadaran jamaah dan kepedulian mereka terhadap
lingkungan sosialnya. Definisi sederhana tentang jamaah adalah kumpulan
keluarga muslim yang berada dalam suatu lingkungan tempat tinggal. Ajakan warga
aktif merupakan landasan gerakan Muhammadiyah yang menuntut adanya komunitas
yang solid dan terorganisir untuk memperjuangkan tegaknya kebaikan menentang
segala macam keburukan. Orientasi dari gerakan ini adalah membangun basis
kehidupan dakwah bil halal di bidang pendidikan, sosial, ekonomi dan kesehatan.
KH.
Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah dan beberapa sahabatnya sangat peduli
terhadap pembinaan jamaah. Beliau melakukan perjalanan keliling Jawa untuk
melakukan pembinaan hingga ke Banyuwangi, Jakarta dan Jawa Tengah. Itu artinya,
penguatan jamaah sudah menjadi platform dari berdiri dan pengembangan gerakan
Muhamaadiyah.
2. Langkah
Penguatan Jama’ah
Langkah
pemberdayaan melalui penguatan institusi cabang dan ranting akan memberi
kontribusi bagi penguatan kohesi sosial /solidaritas antar warga di tengah
meluasnya paham-paham radikal yang cenderung anarkis belakangan ini. Ledakan
bom di Pesantren Umar Bin Khattab Bima NTB, dapat menjadi bukti betapa rapuhnya
kohesi sosial warga. Komunitas kecil jauh di Bima saja, terdapat tindakan
kekerasan terhadap ummat Islam. oleh karena itu, memperkuat kembali identitas
lokal melalui gerakan jamaah, dipandang perlu dalam kerangka penguatan potensi
dan basis gerakan untuk hal-hal yang produktif.
Langkah
yang dapat dilakukan untuk menggiatkan cabang dan ranting Muhammadiyah melalui
gerakan jamaah dan dakwah jamaah antara lain:
· Melakukan
assesment awal mengenai kehidupan keagamaan di desa atau komunitas atau ranting
· Memantapkan
konsep dakwah jamaah yang akan dipergunakan agar sesuai dengan kondisi sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat basis
· Melakukan
sosialisasi dan pelatihan bagi para fasilitator yang akan menggerakkan cabang
dan ranting
· Melakukan
pendampingan dakwah jamaah
· Memantapkan
organisasi gerakan di akar rumput (pimpinan ranting) sebagai ujung tombak
gerakan dakwah jamaah
Untuk
mensinergiskan langkah-langkah diatas, diperlukan adanya keterlibatan berbagai
lembaga amal Muhammadiyah, seperti: sekolah, rumah sakit ataupun masjid dari
seluruh daerah di Indonesia. Pelibatan lembaga amal itu dalam mempercepat
proses pengembangan cabang dan ranting sebagai sentral untuk mengembangkan
Muhammadiyah sebagai organisasi yang bercorak community based. Agar nantinya
tidak hanya memperkuat infrastruktur Muhammadiyah, tetapi juga memperkuat
infrastruktur masyarakat, sehingga terbentuk masyarakat khairah ummah
sebagaimana cita-cita Muhammadiyah.
D. Makna
gerakan keagamaan Muhammadiyah
Secara
harfiah ada perbedaan antara kata “gerak, “gerakan”, maupun “pergerakan”. Gerak
adalah perubahan sesuatu materi dari tempat yang satu ke tempat lainnya[2],
gerakan adalah perbuatan atau keadaan bergerak, sedangkan pergerakan adalah
usaha atau kegiatan. Pergerakan identik dengan kegiatan dalam ranah sosial.
Dengan demikian, kata gerakan atau pergerakan mengandung arti, unsur, dan
esensi yang dinamis tidak statis.
Muhammadiyah
merupakan organisasi pergerakan. Kader muhammadiyah di tuntut untuk selalu
bergerak dalam menyebar syariat islam yang terinspirasi dari surat Al-Imran
ayat 104.
Muhammadiyah
bukanlah gerakan sosial-keagamaan yang biasa. Tetapi sebagai gerakan Islam,
pergerakan organisasi terkait erat dengan perkembangan agama Islam di
Nusantara. Tidak hanya bergerak, karena setiap dakwah yang disampaikan dan
disebarkan harus berdasarkan bingkai petunjuk ajaran agama Islam: Islam tidak
terbangun sebagai asas formal (teks), tetapi menjiwai, melandasi, mendasari,
mengkerangkai, memengaruhi, menggerakan dan menjadi pusat orientasi dan tujuan.
Tidak sekadar meng-Islam KTP, menjadikannya slogan dan simbolik belaka, tetapi
menjadikannya jalan dan ruh kehidupan.
Inilah
Islam yang modern, Islam yang melintasi batas-batas kaku tradisional dan
budaya, Islam yang senantiasa melangkah maju ke depan. Sebagaimana semangat
dasar gerakan Muhammadiyah dalam menyebarkan panji-panji agama Islam dan
menghadapi pergolakan arah global dunia.
Oleh
karena itu, aktor-aktor gerakan dakwah wajib masuk dalam lingkaran organisasi
agar dapat terorganisir dan memiliki power yang kuat. Sehingga, kelelahan dan
keteteran dalam menyebarkan nilai-nilai ke-Islam-an dapat teratasi sejak dini
dan secara organisatoris. Dalam hal ini, para pendahulu Muhammadiyah
memaknainya dengan kaidah fiqhiyah “ma layatim al-wajib Illa bihi da huma
wajib.” Artinya: organisasi menjadi wajib adanya, karena keniscayaan dakwah
memerlukan perangkat-perangkat organisasi
Di
sisi lain: Muhammadiyah bertujuan untuk mencetak ummat terbaik atau ummat yang
unggul. Sebagaimana pokok pikiran keenam Anggaran Dasar Muhammadiyah.
Disebutkan bahwa: “organisasi adalah satu-satunya alat atau cara perjuangan
yang sebaik-baiknya.”
Ciri-cirinya
adalah:
a)
Muhammadiyah adalah subjek atau pemimpin, dan masyarakat semuanya adalah objek
atau yang dipimpinnya
b)
Lincah (dinamis), maju (progresif), selalu dimuka dan militan
c)
Revolusioner
d)
Mempunyai pemimpin yang kuat, cakap, tegas dan berwibawa
e)
Mempunyai organisasi yang susunannya lengkap dan selalu tepat atau up to date
(PP Muhammadiyah, Manhaj Gerakan Muhammadiyah, 2000; 19-30).
E. Gerakan
Tajdid Pada 100 Tahun Kedua
Tajdid
merupakan proses yang tidak pernah berhenti. Ia akan tumbuh dan berkembang
seiring dengan perkembangan kehidupan manusia. Dalam ranah agama, tajdid
dimaknai sebagai upaya untuk redefinisi makna di tengah-tengah kehidupan
manusia yang progresif Islam seringkali dimaknai penganutnya sebagai agama yang
“rahmatan lil alamin”, agama yang senantiasa sesuai di setiap tempat dan
zaman. Untuk mengejawantahkannya, seringkali dihadapkan pada dilema antara
normativitas teks dengan realitas sosial. Dalam menghadapi dilema ini, maka
yang harus diubah adalah cara pandang terhadap teks al-Qur’an dan al-Sunnah.
Amin Rais menyebut tajdid dilakukan secara konprehensif yang mengarah
kepada future oriented. (Amin Rais, Visi dan Misi Muhammadiyah,
1998: 10).
Muhammadiyah
sebagai gerakan tajdid menggunakan tiga paradigma dalam membaca teks yakni
bayani, burhani, dan irfani. Ketiga paradigma ini diharapkan mampu menjawab
dilema antar teks dan konteks sehingga menghasilkan Islam yang rahmatan lil
alamin.
Pengetahuan
dan peradaban manusia senantiasa berubah dan berkembang seiring dengan
perkembangan zaman. Sebagai bagian dari narasi besar ilmu pengetahuan,
ilmu-ilmu keislaman pun mengalami pergeseran paradigmatik. Hal ini
terjadi karena ilmu-ilmu yang lahir tidak lepas dari bingkai sosial yang
mengkonstruk realitas. Bingkai sosial inilah yang selalu mengalami perubahan
seiring dengan pperkembangan peradaban manusia. Oleh karena itu, pergeseran
paradigma merupakan tuntutan sejarah.
Perkembangan
peradaban manusia kini sampai pada era pluralisme dan multikulturalisme.
Agama-agama yang selama ini mapan dengan dirinya, ternyata mengalami
problematika ketika berhadapan dengan realitas luar yang makin kompleks dan
plural. Untuk itu, maka, harus ada redefinisi terhadap makna dan orientasi
agama, sehingga agama senantiasa relevan dengan peradaban manusia.
Tantangan
selanjutnya datang dari ranah budaya atau kultur sosial masyarakat lokal. Agama
sebagai sistem nilai, norma dan ajaran yang dominan, berhadapan dengan sistem
nilai yang datang dari tradisi atau adat masyarakat setempat. Sistem nilai itu
lahir dari kearifan lokal yang secara turun temurun dipegang oleh sebuah
masyarakat sebagai suatu ajaran yang harus dijunjung tinggi. Dialektika antara
agama dan budaya (kearifan) lokal ini juga sering memicu ketegangan, konflik
dan perpecahan.
Muhammadiyah
100 tahun kedua, meninjau ulang paradigma yang selama ini dipegang merupakan
suatu keharusan. Misalnya, sikap Muhammadiyah terhadap persoalan budaya lebih
bersifat monolitik. Kecendrungan ini bisa dilihat dari identitas yang melekat
dalam Muhammadiyah yakni gerakan Islam yang murni, di samping sebagai gerakan
modernisme.
Muhammadiyah
100 tahun kedua, diharapkan mampu melangkah dengan pandangan dan strategi yang
lebih tepat sasaran dan mencapai keberhasilan dalam mewujudkan visi dan
tujuannya, baik tujuan jangka menengah dan jangka panjang, maupun tujuan ideal
yakni terbentuknya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Untuk
mencapai tujuan yang ideal ini, diperlukan transformasi baru dalam aktualisasi
gerakannya di berbagai bidang kehidupan. Disinilah pentingnya aktualisasi
ideologi medernisme-reformasi Islam dalam gerakan dakwah dan tajdid gelombang
kedua yang diperlukan Muhammadiyah. melalui potensi dan modal sebagai gerakan
pencerahan, Muhammadiyah diharapkan terus berkiprah untuk pencerahan dan
kemajuan bangsa, serta mampu menjadikan gerakan Islam kosmopolitan yang membawa
Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Selain
transformasi dalam aktualisasi gerakan, juga transformasi di bidang pemikiran,
pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan usaha-usaha lain yang bersifat unggul dan
terobosan, Muhammadiyah dituntut untuk terus berkiprah dengan inovatif. Dengan
demikian transformasi dakwah dan tajdid, yakni melakukan perubahan-perubahan
pandangan dan strategi dakwah dan tajdid lebih mendasar sebagai alternatif.
Sejumlah
tawaran bagi Muhammadiyah dalam melakukan reorientasi terhadap gerakan
tajdid yang diperankannya. Jalaluddin Rahmat pernah menawarkan formulasi Tauhid
Sosial sebagaimana gagasan Dr. M. Amien Rais sebagai blueprint (cetak
biru) tajdid Muhammadiyah jilid dua. Ahmad Syafii Maarif menawarkan
Muhammadiyah sebagai gerakan ilmu untuk melangkah ke depan di tengah pergulatan
pemikiran Islam dan tantangan besar yang demikian kompleks saat ini.
Nurcholish
Madjid secara isyarat memberikan catatan agar gerakan-gerakan Islam modernis
seperti Muhammadiyah memperkaya khazanah keilmuan dan pemikiran agar “kunci”
metodologis yang selama ini kuat dimiliki dilengkapi dengan kekayaan materi
pemikiran baik yang bersifat pemikiran Islam klasik maupun kontemporer.
Tawaran-tawaran
pemikiran tersebut berangkat dari penilaian bahwa gerakan Islam modern seperti
Muhammadiyah selama ini cenderung terlalu ad-hoc, kaya amal tetapi
kering pemikiran, dan kehilangan daya transformasionalnya di tengah perubahan
dan perkembangan zaman yang sarat kompleksitas masalah dan tantangan
sebagaimana kritik kaum noemodernisme terhadap modernisme.
Ketua
Majelis Tarjih dan Tajdid, M. Syamsul Anwar juga memberikan tawaran bahwa kini
tajdid Muhammadiyah memerlukan pengembangan dari paradigma tajdid juz’i-‘alami
(pembaruan praksis amaliah) ke tajdid usuli-nazari (pembaruan pemikiran yang
lebih mendasar).Dalam konteks ini secara sistemik tentu saja keseluruhan
pengembangan pemikiran tajdid itu berada dalam bingkai dan legalitas
organisasi, bukan bersifat perseorangan kecuali untuk wacana dan pengembangan
wawasan pemikiran.
Tajdid
Muhammadiyah bersifat jama’iy atau kolektif, tetapi tentu saja memerlukan etos
ijtihad dan sistem yang lebih dinamis agar tidak mengalami kelambanan dan tidak
terperangkap pada posisi statis. Sedangkan berbagai variasi dan pengembangan
wacana pemikiran sebaiknya diberi ruang yang lebih longgar agar tradisi pemikiran
terus berkembang, tentu saja disertai sikap tasamuh dan memiliki
pertanggungjawaban intelektual yang tinggi.
Keberhasilan
Muhammadiyah melangkah melintasi zaman menuju 100 tahun kedua, karena potensi
dan modal dasar yang dimiliki sebagai gerakan pencerahan. Melalui gerakan
pencerahan yang membawa misi dakwah dan tajdid yang membebaskan, memberdayakan,
dan memajukan kehidupan di tengah dinamika abad modern yang sarat tantangan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat difahami, bahwa tajdid dalam
Muhammadiyah mengalami perubahan yang sangat berarti. Tajdid dalam Muhammadiyah
pada tataran praktis dan gerakan aksi yang mengarah pada pemurnian akidah
dan ibadah, sebagai reaksi terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh umat
Islam.
Model model Tajdid dalam Muhammadiyah digolongkan dalam tiga
bidang diantaranya (a) bidang keagarmaan yaitu Pembaharuan
dalam bidang keagamaan adalah penemuan kembali ajaran atau prinsip dasar yang
berlaku abadi, yang karena waktu lingkungan situasi dan kondisi mungkin
menyebabkan dasar-dasar tersebut kurang jelas dan tertutup oleh kebiasan dan
pemikiran tambahan lain. (b) bidang pendidikan yaitu Muhammadiyah mempelopori
dan meyelenggarakan sejumlah pembaharuan dan inovasi yang lebih nyata dimana
bidang pendidikan dipandang sangat penting dalam penyebaran ajaran agama islam.
(c) bidang sosial masyarakat Muhammadiyah merintis bidang sosial kemasyarakatan
dengan mendirikan rumah sakit, piklinik, panti auhan, rumah singgah, panti
jompo, Pusat kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), posyandu lansia yang dikelola
melalui amal usahanya dan bukan secara individual sebagai mana dilakukan orang
pada umumnya.
B. Saran
Tajdid atau pembaharuan dalam Islam khususnya dalam
Muhammadiyah memang perlu terus dilakukan oleh kader–kader Muhammadiyah. Hal
ini untuk melindungi ajaran–ajaran agama yang semakin hari luntur oleh fenomena
modern yang berkembang di masyarakat. Pola kehidupan masyarakat modern yang
memiliki budaya baru yang lebih bebas cenderung melupakan ajaran – ajaran agama
yang sebenarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrohman,
Asjmuni, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Metodologi dan Aplikasi,( Jokyakarta :
Pustaka Pelajar, 2002, Cet I )
Badan
pendidikan Kader PP. Muhammadiyah, Materi Induk Perkaderan Muhammadiyah, (
Jogyakarta : BPK PP.Muhammadiyah,Oktober 1994, Cet I )
Majlis
Tarjih Dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Buku
Panduan Munas Tarjih ke 26 , (Jokyakarta : MTPPI PP Muhammadiyah, 2003)
Wikepedia,arti
tajdid secara harfiah:id.wikepedia.org/tajdid